Diposkan pada Uncategorized

Terimakasih sudah memberikan bekas luka yang dalam. Hingga aku sulit untuk kembali membuka. Sebab sakit yang kau torehkan masih sangatlah terasa. Bahkan sampai detik ini, beberapa orang kulewatkan begitu saja. Sebab hatiku memilihmu, meski ternyata yang kudapati adalah luka.

Jika kau tanya saat ini apa hatiku masih mencintaimu, jawabanku, ya. Namun jika saat ini kau tanya lagi apa aku masih ingin bersamamu, jawabanku, tidak. Bagiku kamu hanya seperti mimpi, yang entah akan terwujud atau hanya menjadi mimpi. Bukan aku tidak ingin meraih mimpiku sendiri, hanya, aku dan kamu terlalu jauh, bagai mentari dan bulan, tidak pernah bertemu di satu tujuan.

Aku adalah aku, yang seperti ini adanya. Mudah kecewa, marah atau bahkan terluka. Wajar saja, aku wanita. Meski aku diajarkan untuk selalu kuat, namun aku tetap aku yang begini.

Terlalu banyak kata yang tidak mampu terucap. Terlalu banyak kecewa yang bosan aku telan. Meski di depanmu aku (sangat) berusaha untuk biasa saja; tetapi pahamilah, rasanya sakit ketika melihatmu. Seperti bayangan perempuan lain muncul dalam benakku.

Semuanya kini percuma, sebab nyatanya bukan hanya aku, yang ada dalam hatimu. Ini sulit untukku. Maka, maafkan aku.

Diposkan pada Uncategorized

1/365

Mengawali hari baru di 2017, ternyata sangat kacau. Bertemu sana sini. Cukup menguras emosi. Dan lagi, menguji hati. Belum cukup puaskah?

Diposkan pada Uncategorized

Hari ini, egoku bergelut. Tentang kerasnya logika bekerja, melawan hati yang lebih keras merasa. Hati menang. Selalu. Dan entah untuk alasan apalagi, kini. Sebab aku tidak lagi punya alasan untuk bertahan. Mengapa? Sebab kamu tak lagi memilihku. Sebab kamu tak lagi melihatku. Atau bahkan, memang tak pernah ada aku dalam hidupmu?
Sore tadi, hujan di sepanjang jalan. Jalanan yang dulu kita lewati berdua. Tunggu, mungkin kini perlu ku sebut jalan kenangan? Haha. Lucu. Memang. Hidup memang kadang selucu itu. Kau menabur harap. Lalu aku jatuh terlalu cepat. Dan pada akhirnya kita tersesat. Dalam hutan kebencian.
Oh, tidak. Sekalipun aku tidak pernah membencimu. Hanya saja, kekecewaanku merenggut segalanya. Maka, entah untuk apalagi aku bertahan. Saat kau katakan, kau inginkan aku, namun nyatanya? Aku hanya merasa terbuang. Dan ucapanmu? Mana lagi yang bisa kupercayai?
Kecewa. Kecewa. Kecewa. Namun ternyata, hatiku jatuh kembali. Pada kamu. Entah. Entah apa yang telah kau beri. Aku hanya berharap. Sadarlah. Perasaanku bukan mainan. Jika kau tidak inginkan aku, maka bebaskan aku dari keterpurukan. Bebaskan aku dari rasa terkekang. Karena, kamu bukan siapa-siapa ku. Jadi, aku mohon, biarkan aku terbang bebas. Tapu, jika kau memang inginkanku, maka, pastikan hatimu memang untukku. Aku, lelah bermain api denganmu.

.

.

.

.

. Dari rindu, untuk kenangan di kota kecil